Sikap pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mendukung mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau lonvensi kerangka kerja pengendalian tembakau mendapat kritik.
Budayawan Mohammad Sobary menuding, dukungan itu tidak lepas dari intervensi pihak asing. Ia menduga, sikap tersebut karena sudah ada 'upah' asing. Dia mengaku prihatin dengan dukungan tersebut karena sejatinya membahayakan petani tembakau.
“Mustahil kalau tidak dapat upah. Mereka tidak punya semangat membesarkan bangsanya sendiri," cetus Sobary, Jumat (7/8/2015).
Dia mengingatkan, pihak asing saat ini berkepentingan untuk mencaplok bisnis kretek dalam negeri yang besar. Ia mengingatkan, FCTC dan segenap aturan mengenai tembakau dan produk-produk olahannya, disusun berdasarkan kepentingan asing.
“Sejauh menyangkut kepentingan asing, pemerintah, baik di era SBY dan pemerintah sekarang, siap membungkuk. Merasa didukung Amerika. Kepada bangsa sendiri dan petani tembakau saja pemerintah tidak siap melindungi," sesalnya.
Dia menambahkan, ketika argumen demi kesehatan masyarakat itu tidak manjur, digantilah argumen ekonomi bahwa merokok itu dianggap sebuah pemborosan. Argumen ekonomi ini pun tak begitu berpengaruh.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis mengingatkan, dukungan terhadap FCTC sama saja melampaui sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sampai saat ini belum memberi dukungan.
"Secara ketatanegaraan, Kemenkeu tidak bisa mengambil tindakan hukum apapun dalam soal FCTC ini, termasuk dan tidak terbatas pada pembahasan apalagi pelembagaan aksesi sepanjang tidak ada directive dari Presiden," sebut Margarito.
Lebih lanjut dia mengingatkan kepada pemerintah agar tidak gegabah meratifikasi FCTC. Pasalnya, ratifikasi tersebut tentu memenuhi kepentingan asing dan merugikan industri dan petani dalam negeri.
"Pemerintah sebelum memutuskan meneken ratifikasi harus benar-benar menghitung aspek-aspek yang melemahkan, merugikan petani dan pengusaha nasional," tandasnya.
Budayawan Mohammad Sobary menuding, dukungan itu tidak lepas dari intervensi pihak asing. Ia menduga, sikap tersebut karena sudah ada 'upah' asing. Dia mengaku prihatin dengan dukungan tersebut karena sejatinya membahayakan petani tembakau.
“Mustahil kalau tidak dapat upah. Mereka tidak punya semangat membesarkan bangsanya sendiri," cetus Sobary, Jumat (7/8/2015).
Dia mengingatkan, pihak asing saat ini berkepentingan untuk mencaplok bisnis kretek dalam negeri yang besar. Ia mengingatkan, FCTC dan segenap aturan mengenai tembakau dan produk-produk olahannya, disusun berdasarkan kepentingan asing.
“Sejauh menyangkut kepentingan asing, pemerintah, baik di era SBY dan pemerintah sekarang, siap membungkuk. Merasa didukung Amerika. Kepada bangsa sendiri dan petani tembakau saja pemerintah tidak siap melindungi," sesalnya.
Dia menambahkan, ketika argumen demi kesehatan masyarakat itu tidak manjur, digantilah argumen ekonomi bahwa merokok itu dianggap sebuah pemborosan. Argumen ekonomi ini pun tak begitu berpengaruh.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis mengingatkan, dukungan terhadap FCTC sama saja melampaui sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sampai saat ini belum memberi dukungan.
"Secara ketatanegaraan, Kemenkeu tidak bisa mengambil tindakan hukum apapun dalam soal FCTC ini, termasuk dan tidak terbatas pada pembahasan apalagi pelembagaan aksesi sepanjang tidak ada directive dari Presiden," sebut Margarito.
Lebih lanjut dia mengingatkan kepada pemerintah agar tidak gegabah meratifikasi FCTC. Pasalnya, ratifikasi tersebut tentu memenuhi kepentingan asing dan merugikan industri dan petani dalam negeri.
"Pemerintah sebelum memutuskan meneken ratifikasi harus benar-benar menghitung aspek-aspek yang melemahkan, merugikan petani dan pengusaha nasional," tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar