Kedua ormas Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sudah
menetapkan pimpinan yang baru untuk masa kepengurusan lima tahun ke
depan. KH Said Aqil Siraj terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU 2015-2020 dan Muhammadiyah akan dinakhodai Haedar Nashir hingga 2020 mendatang.
Meski dilaksanakan hampir bersamaan, dua muktamar itu menyisakan dua
kesan berbeda. Jika Muktamar Muhammadiyah berjalan adem ayem, lain
halnya dengan Muktamar NU yang berlangsung alot bahkan diwarnai
kegaduhan antar-kaum nahdiyin.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Agung Suprio menjelaskan tentang nilai yang bisa diambil dari situasi di dua muktamar tersebut.
Kata Agung, di balik kegaduhan Muktamar NU, muncul kiai atau pemuka organisasi yang bisa diandalkan dalam mendamaikan kader-kadernya. Paling menonjol adalah Kiai Maimun Zubair (Mbah Mun) dan Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus).
"Muhammadiyah memang lebih rapi dan NU kurang rapi. Namun, kalau dilihat dari konfliknya, di NU justru menimbulkan hikmah bahwa ulama memegang peranan penting untuk mendamaikan massa yang berkonflik," ungkap Agung kepada Okezone, di Jakarta, Jumat (7/8/2015).
Minus dari kerapian Muktamar Muhammadiyah, lanjut Agung, adalah tidak munculnya figur yang menonjol dari acara yang digelar lima tahunan itu.
"Di Muhammadiyah karena rapi jadi tidak ada hikmahnya. Tidak ada figur yang dominan karena rapi jadi tidak muncul," ungkap Agung.
Meski begitu, Agung mengingatkan NU untuk kembali ke khittohnya dan menjauhi politik praktis yang menjadi jurang kehancuran sebuah organisasi. Setiap elite di NU diminta untuk lebih bijak dalam melihat persoalan.
"Masing-masing elite di NU harus merendahkan hatinya dan berkomitmen untuk tidak terjebak politik praktis," tandasnya.
Diketahui, Muktamar NU sempat diwarnai kegaduhan saat membahas tata tertib BAB V Pasal 14 tentang pimpinan dan BAB VII Pasal 19 tentang pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Ketegangan mereda setelah Gus Mus langsung turun tangan menenangkan para muktamirin.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Agung Suprio menjelaskan tentang nilai yang bisa diambil dari situasi di dua muktamar tersebut.
Kata Agung, di balik kegaduhan Muktamar NU, muncul kiai atau pemuka organisasi yang bisa diandalkan dalam mendamaikan kader-kadernya. Paling menonjol adalah Kiai Maimun Zubair (Mbah Mun) dan Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus).
"Muhammadiyah memang lebih rapi dan NU kurang rapi. Namun, kalau dilihat dari konfliknya, di NU justru menimbulkan hikmah bahwa ulama memegang peranan penting untuk mendamaikan massa yang berkonflik," ungkap Agung kepada Okezone, di Jakarta, Jumat (7/8/2015).
Minus dari kerapian Muktamar Muhammadiyah, lanjut Agung, adalah tidak munculnya figur yang menonjol dari acara yang digelar lima tahunan itu.
"Di Muhammadiyah karena rapi jadi tidak ada hikmahnya. Tidak ada figur yang dominan karena rapi jadi tidak muncul," ungkap Agung.
Meski begitu, Agung mengingatkan NU untuk kembali ke khittohnya dan menjauhi politik praktis yang menjadi jurang kehancuran sebuah organisasi. Setiap elite di NU diminta untuk lebih bijak dalam melihat persoalan.
"Masing-masing elite di NU harus merendahkan hatinya dan berkomitmen untuk tidak terjebak politik praktis," tandasnya.
Diketahui, Muktamar NU sempat diwarnai kegaduhan saat membahas tata tertib BAB V Pasal 14 tentang pimpinan dan BAB VII Pasal 19 tentang pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Ketegangan mereda setelah Gus Mus langsung turun tangan menenangkan para muktamirin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar