Karena menurutnya, dari aspek yuridis bahwa pembuatan PKPU pada dasarnya memang bermasalah, karena hal-hal semacam pencalonan tunggal tidak diatur secara tegas. Akibatnya, Undang-Undang Pilkada tidak dapat menjawab polemik seperti ini, sehingga memerlukan payung hukum lain.
"Sudah menjadi hal yang wajar pembuatan Undang-Undang di Indonesia tidak beres. Pencalonan tunggal ini sebagai contoh kasus nyata namun tidak diatur dalam Undang-Undang. Walau ada PKPU, namun ternyata memundurkan jadwal pilkada di daerah yang hanya punya satu pasangan calon tidak diatur dengan eksplisit," terang Luthfi dalam keterangannya , Jumat (7/8/2015). Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu menyebut, polemik pencalonan tunggal harus ditengahi dengan perangkat hukum yang ada. Kalau dalam waktu dekat ini tidak ada perangkat yang jelas, maka otomatis tujuh daerah tersebut memang sewajarnya dilakukan penundaan ke tahun 2017.
"Kalau perlu tunda saja beberapa daerah yang memiliki calon tunggal. Dalam PKPU kan diatur itu. Enggak usah ada Perppu karena pembuatan payung hukum harus di landasan kesadaran penuh bukan ketergesaan seperti ini. Dampaknya pasti tidak akan beres karena payung hukumnya juga diragukan kualitasnya," katanya.
Ia meyakinkan, bahwa pengunduran jadwal pilkada bagi daerah yang masih memiliki satu pasangan calon tidak akan memunculkan dampak yang signifikan.
"Negara enggak bubar kok, kalau ada daerah yang diundurkan pilkada-nya," tutupnya. (awl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar