Mantan Dirut PLN Dahlan Iskan,
mengajukan 3 ahli untuk memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang
permohonan praperadilan yang diajukannya. Dahlan ditetapkan sebagai
tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan dan pembangunan Gardu
Induk (GI) di Unit Induk Pembangkit dan Jaringan Jawa Bali dan Nusa
Tenggara.
Dalam penjelasannya, salah satu ahli hukum pidana Made Widnyana mengatakan, dalam menentukan seseorang menjadi tersangka, baik penyidik Kejaksaan, Polri, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kerap kali salah menafsirkan bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup.
"Bukti permulaan dan bukti permulaan cukup itu, banyak multi tafsirnya. Contohnya, Polri saja masih bisa salah untuk menafsirkannya," ujar Made di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (30/7/2015).
Selain itu, Made juga menuturkan, tidak semua saksi bisa menjadi alat bukti. Sebab, keterangan para saksi memang menyangkut materilnya atau tidak.
Masih kata Made, secara teoritis, saksi yang sudah menjadi tersangka tidak adil untuk diambil keterangan secara keseluruhan.
"Tidak semua saksi bisa menjadi alat bukti. Secara teoritis saksi yang sudah jadi tersangka bisa dipandang tidak adil," jelas akademisi Universitas Airlangga Surabaya itu.
Sebelumnya, Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Ida Bagus menjelaskan dalam menetapkan Dahlan menjadi tersangka bukan hanya dari bukti permulaan saja.
"Perlu diketahui, kita sudah lakukan penyidikan dan penyelidikan sejak Juli 2014 lalu. Buktinya pun sudah banyak. Ada 15 penyidikan yang mendasari dan kita temukan 335 bukti surat, ada 39 saksi, dan belum lagi dokumen dokumen lain yang terkait. Semua proyek itu jadi terbengkalai," ungkap dia.
Dahlan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan dan pembangunan Gardu Induk (GI) di Unit Induk Pembangkit dan Jaringan Jawa Bali dan Nusa Tenggara PT PLN Persero tahun anggaran 2011-2013.
Selain Dahlan, Kejati DKI Jakarta juga menetapkan 15 orang lainnya sebagai tersangka. Semua dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 junto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (Mvi/Mut)
Dalam penjelasannya, salah satu ahli hukum pidana Made Widnyana mengatakan, dalam menentukan seseorang menjadi tersangka, baik penyidik Kejaksaan, Polri, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kerap kali salah menafsirkan bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup.
"Bukti permulaan dan bukti permulaan cukup itu, banyak multi tafsirnya. Contohnya, Polri saja masih bisa salah untuk menafsirkannya," ujar Made di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (30/7/2015).
Selain itu, Made juga menuturkan, tidak semua saksi bisa menjadi alat bukti. Sebab, keterangan para saksi memang menyangkut materilnya atau tidak.
Masih kata Made, secara teoritis, saksi yang sudah menjadi tersangka tidak adil untuk diambil keterangan secara keseluruhan.
"Tidak semua saksi bisa menjadi alat bukti. Secara teoritis saksi yang sudah jadi tersangka bisa dipandang tidak adil," jelas akademisi Universitas Airlangga Surabaya itu.
Sebelumnya, Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Ida Bagus menjelaskan dalam menetapkan Dahlan menjadi tersangka bukan hanya dari bukti permulaan saja.
"Perlu diketahui, kita sudah lakukan penyidikan dan penyelidikan sejak Juli 2014 lalu. Buktinya pun sudah banyak. Ada 15 penyidikan yang mendasari dan kita temukan 335 bukti surat, ada 39 saksi, dan belum lagi dokumen dokumen lain yang terkait. Semua proyek itu jadi terbengkalai," ungkap dia.
Dahlan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan dan pembangunan Gardu Induk (GI) di Unit Induk Pembangkit dan Jaringan Jawa Bali dan Nusa Tenggara PT PLN Persero tahun anggaran 2011-2013.
Selain Dahlan, Kejati DKI Jakarta juga menetapkan 15 orang lainnya sebagai tersangka. Semua dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 junto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (Mvi/Mut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar